Pertumbuhan Ekonomi Kurang
Berkualitas
Pertumbuhan ekonomi
yang mencapai 6,4 persen pada triwulan II-2012 lebih banyak dinikmati kalangan
kelas menengah. Hal itu karena pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Mudrajad Kuncoro menyatakan, pertumbuhan ekonomi meningkat
dan pendapatan per kapita mencapai 3.540 dollar Amerika Serikat per tahun.
Namun, indikasi ketimpangan terlihat
sebagai hasil proses pembangunan nasional saat ini. Hal itu diukur dengan ketimpangan distribusi
pendapatan yang semakin lebar sebagaimana tecermin dari koefisien gini, yakni
meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011.
”Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40
persen penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan kue nasional yang
dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya,” kata Mudrajad saat dihubungi
di Jakarta.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) Sofjan Wanandi melihat pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh kelas
menengah ke atas, sedangkan masyarakat kelas bawah yang tergerus berbagai
hambatan hanya berupaya bisa bertahan.
”Kalaupun
untung, kelas bawah itu keuntungannya semakin tipis karena mereka harus
merasakan tingginya harga bahan baku dan harus berhadapan dengan bunga kredit
perbankan yang tinggi,” kata Sofjan.
Ia memastikan pertumbuhan yang saat ini
dicapai dipicu oleh kenaikan pola konsumsi masyarakat dalam menghadapi puasa
dan perayaan Idul Fitri. Soal investasi yang meningkat, menurut Sofjan,
bukanlah merupakan hal baru.
Dikatakan, investasi yang saat ini
terlihat gencar dilakukan, terutama oleh investor asing, merupakan proses yang
sudah berlangsung dua tahun lalu. Bukan kecepatan proses investasi yang
baru-baru ini diajukan, seperti investasi Foxconn dari Taiwan yang masih
berkutat pada pencarian lahan industri.
Tidak banyak perubahan
Kalangan nelayan dan serikat buruh
mengakui tidak banyak merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi triwulan II
yang signifikan.
Cornelius Mahuze (32), nelayan
tradisional warga suku Marind Kampung Mbuti, Distrik Merauke, Kabupaten
Merauke, Papua, mengaku kehidupannya selama ini tidak mengarah lebih baik. ”Ya,
begini-begini saja, hanya bisa jaring udang. Tidak punya perahu, tidak ada
modal,” ujarnya, Selasa.
Cornelius sehari-hari bekerja menjaring
udang di pinggir laut di Pantai Mbuti. Bila sedang musim udang, ia bisa
mendapat 10-20 kilogram per hari. Udang dijual Rp 15.000 per kg. Bila bukan
sedang musim udang, ia hanya bisa mendapat 1-2 kg dalam sehari. ”Kalau musim panas atau musim ombak
besar, tidak ada penghasilan,” ujarnya.
Laurensius
Mahuze (50), nelayan tradisional lainnya, warga Kampung Mbuti, juga hanya bisa
mengandalkan menjaring udang di pinggir laut karena tidak memiliki perahu motor
untuk menangkap ikan hingga ke tengah laut. Penghasilannya bergantung pada musim
tangkap udang.
”Kalau tidak musim udang, saya hanya
menjual kelapa muda Rp 5.000 per buah,” katanya.
Sementara
menurut aktivis buruh di Surabaya, Jawa Timur, Jamaluddin, pertumbuhan ekonomi
belum mampu menyejahterakan buruh dan hanya memberikan keuntungan bagi pelaku
usaha. Hal itu tecermin dari bertambahnya pekerja dengan status alih daya
sehingga kewajiban pemilik perusahaan, seperti memberikan hak pensiun,
tunjangan kesehatan, dan biaya sekolah anak, justru nihil.
”Upah
buruh di Indonesia paling murah dibandingkan Thailand, Singapura, Filipina, dan
Malaysia. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan
penghasilan buruh, apalagi petani dan nelayan,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari
Universitas Airlangga, Surabaya, Subagyo, menilai, hasil dari semua itu justru
dinikmati oleh investor asing yang sudah menguasai kepemilikan saham di hampir
semua sektor usaha. ”Pertumbuhan
ekonomi tidak berdampak langsung pada orang-orang kecil, tetapi justru para
pemilik modal,” ujarnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana menyatakan, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2012 dipicu
pertumbuhan konsumsi domestik dan investasi. Pemerintah menargetkan pertumbuhan
investasi 11 persen, realisasinya bisa mencapai 12 persen.
”Bagaimana menjaga momentum dan
meminimalkan ekspor yang turun. Kemudian kontribusi sektor pertanian paling
bagus. Itu yang menjadi pendorong. Harapan kami, semua itu bisa diterjemahkan
pada kesejahteraan rakyat dan mengurangi pengangguran,” ujarnya.
Keterangan :
Hijau : argumentasi
Kuning : penalaran