Senin, 28 Oktober 2013

Pertumbuhan Ekonomi Kurang Berkualitas


Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,4 persen pada triwulan II-2012 lebih banyak dinikmati kalangan kelas menengah. Hal itu karena pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Mudrajad Kuncoro menyatakan, pertumbuhan ekonomi meningkat dan pendapatan per kapita mencapai 3.540 dollar Amerika Serikat per tahun.
Namun, indikasi ketimpangan terlihat sebagai hasil proses pembangunan nasional saat ini. Hal itu diukur dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin lebar sebagaimana tecermin dari koefisien gini, yakni meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011.
”Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40 persen penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan kue nasional yang dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya,” kata Mudrajad saat dihubungi di Jakarta.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi melihat pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas, sedangkan masyarakat kelas bawah yang tergerus berbagai hambatan hanya berupaya bisa bertahan.
”Kalaupun untung, kelas bawah itu keuntungannya semakin tipis karena mereka harus merasakan tingginya harga bahan baku dan harus berhadapan dengan bunga kredit perbankan yang tinggi,” kata Sofjan.
Ia memastikan pertumbuhan yang saat ini dicapai dipicu oleh kenaikan pola konsumsi masyarakat dalam menghadapi puasa dan perayaan Idul Fitri. Soal investasi yang meningkat, menurut Sofjan, bukanlah merupakan hal baru.
Dikatakan, investasi yang saat ini terlihat gencar dilakukan, terutama oleh investor asing, merupakan proses yang sudah berlangsung dua tahun lalu. Bukan kecepatan proses investasi yang baru-baru ini diajukan, seperti investasi Foxconn dari Taiwan yang masih berkutat pada pencarian lahan industri.
Tidak banyak perubahan
Kalangan nelayan dan serikat buruh mengakui tidak banyak merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi triwulan II yang signifikan.
Cornelius Mahuze (32), nelayan tradisional warga suku Marind Kampung Mbuti, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, mengaku kehidupannya selama ini tidak mengarah lebih baik. ”Ya, begini-begini saja, hanya bisa jaring udang. Tidak punya perahu, tidak ada modal,” ujarnya, Selasa.
Cornelius sehari-hari bekerja menjaring udang di pinggir laut di Pantai Mbuti. Bila sedang musim udang, ia bisa mendapat 10-20 kilogram per hari. Udang dijual Rp 15.000 per kg. Bila bukan sedang musim udang, ia hanya bisa mendapat 1-2 kg dalam sehari. ”Kalau musim panas atau musim ombak besar, tidak ada penghasilan,” ujarnya.
Laurensius Mahuze (50), nelayan tradisional lainnya, warga Kampung Mbuti, juga hanya bisa mengandalkan menjaring udang di pinggir laut karena tidak memiliki perahu motor untuk menangkap ikan hingga ke tengah laut. Penghasilannya bergantung pada musim tangkap udang.
”Kalau tidak musim udang, saya hanya menjual kelapa muda Rp 5.000 per buah,” katanya.
Sementara menurut aktivis buruh di Surabaya, Jawa Timur, Jamaluddin, pertumbuhan ekonomi belum mampu menyejahterakan buruh dan hanya memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. Hal itu tecermin dari bertambahnya pekerja dengan status alih daya sehingga kewajiban pemilik perusahaan, seperti memberikan hak pensiun, tunjangan kesehatan, dan biaya sekolah anak, justru nihil.
”Upah buruh di Indonesia paling murah dibandingkan Thailand, Singapura, Filipina, dan Malaysia. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan penghasilan buruh, apalagi petani dan nelayan,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Subagyo, menilai, hasil dari semua itu justru dinikmati oleh investor asing yang sudah menguasai kepemilikan saham di hampir semua sektor usaha. ”Pertumbuhan ekonomi tidak berdampak langsung pada orang-orang kecil, tetapi justru para pemilik modal,” ujarnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana menyatakan, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2012 dipicu pertumbuhan konsumsi domestik dan investasi. Pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi 11 persen, realisasinya bisa mencapai 12 persen.
”Bagaimana menjaga momentum dan meminimalkan ekspor yang turun. Kemudian kontribusi sektor pertanian paling bagus. Itu yang menjadi pendorong. Harapan kami, semua itu bisa diterjemahkan pada kesejahteraan rakyat dan mengurangi pengangguran,” ujarnya.

Keterangan :
Hijau    : argumentasi
Kuning : penalaran